Jalan Cinta yang Ternoda (1)

Mukadimah

Kita sering mendengar kata CINTA. Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya. Terlebih untuk mengetahui hakikatnya. Kenyataan yang ada menunjukkan seseorang dengan mudahnya bisa keluar dari jerat syariat ketika cinta telah hadir.

Apakah disebut dengan cinta jika dua anak manusia memadu kasih sebelum halalnya? Apakah disebut cinta juga jika dua anak manusia saling membuka pintu fitnah lebar-lebar? Apakah disebut cinta jika dua anak manusia saling menodai iffah yang semestinya dijaga?

Bukankah kita tidak ingin orang-orang yang kita cintai menjadi musuh kita kelak? Allah berfirman,

“Orang-orang yang saling mencintai (selama di dunia) pada hari itu (hari kiamat) sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa” (QS Az Zukhkhruf : 67)

Demikianlah bila kedhaifan telah menjangkiti hati, kebenaran tidak lagi menjadi pembimbing. Dalam keadaan seperti ini, syaithan akan mengibaskan apinya dan menyesatkan manusia atas nama cinta sebagai landasan bagi pembolehan terhadap segala yang dilarang Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Islam adalah agama yang mulia. Islam mengatur batasan-batasan yang ketat untuk mencegah ternodanya fitrah manusia ini. Kita hanya perlu belajar untuk mengetahui, mengamalkan dan bersabar di atasnya. Karena agama ini tidaklah dibangun diatas perasaan melainkan dibangun diatas bimbingan Allah azza wa jalla dan sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasalam.

Inilah Cinta

Segala puji bagi Allah yang telah memberika taufiq kepada kita untuk mencintai dan menghamba kepada-Nya. Saudaraku yang dirahmati Allah, dengan mahabbah (cinta), khauf (takut), dan raja’ (mengharap) kita beribadah kepada Allah. Allah subhanahu wata ala menciptakan kita memiliki tabiat untuk mencintai dan dicintai. Oleh karena itu dua insan manusia yang berlawanan jenis memiliki fitrah ini. Dengan cinta, kehidupan ini pun menjadi berwarna.

Sangat disayangkan, cinta yang dipahami oleh banyak remaja muslim sebatas cinta antar pasangan yang sedang dimabuk asmara, atau sebatas cinta sepasang remaja yang duduk di bangku sekolah dengannya, atau makna cinta tidak pernah jauh dari sisi tersebut. Inilah makna cinta yang terlarang yang akan menyebabkan kesengsaraan di akhirat kelak.

Cinta dalam pandangan kita adalah mahabbah thabi’iyyah (cinta yang merupakan tabiat) layaknya seorang laki-laki yang mencintai seorang wanita, seorang suami mencintai istrinya, seorang mencintai anak-anaknya, seorang yang mencintai harta. Allah azza wa jala berfirman,

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran : 14)

Saudaraku yang dirahmati Allah azza wa jala. Cinta yang menetapi jiwa seseorang akan mendorong orang tersebut melangkah mencari yang dicinta. Berupaya untuk senantiasa memenuhi apa yang diinginkan oleh cintanya. Berusaha agar selalu menuai ridha dari sang kekasih. Cinta mendorong seseorang untuk membulatkan tekad memberikan apa yang dimiliki.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Cinta adalah kepergian hati mencari yang dicinta, seraya lisannya terus-menerus menyebut yang dicinta. Adapun lisan senantiasa menyebut yang dicinta, tak ragu lagi karena dirinya tengah dirundung cinta yang teramat sangat, maka ia akan banyak menyebutnya” (Madarijus As-Salikin, 3/15)

Cinta Karena Allah Cinta Sejati?

Subhanallah. Inikah cinta? Lihatlah ketika orang-orang jatuh cinta dan meluapkan segala isi hatinya. Sikap dan perilaku pun akan terbingkai karenanya. Tiada bermakna kata-kata indah ini ketika cinta tidak pernah bertumpu pada pondasi yang benar.

Jika cinta yang merupakan tabiat manusia ini mengantarkan seseorang untuk bermaksiat maka ternodalah fitrah tersebut. Cintanya akan berubah menjadi cinta maksiat. Sebaliknya jika cinta ini membingkai pelakunya secara syar’i maka cinta ini akan mengantarkan seseorang kepada Allah. Dia akan mencintai sang kekasih karena dia mencintai Allah subhanahu wata ala. Cintanya akan tumbuh dan bersemi karena Allah. Kesucian fitrah dan keimanan akan senantiasa menaunginya. Allah berfirman,

“...Tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hati kalian” (QS Al Hujurat : 7)

Dan Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda,

“Sesungguhnya ikatan keimanan yang paling kuat adalah engkau mencintai karena Allah dan engkau membenci juga karena Allah.” (HR Ahmad dalam Al Musnad (4/286), Ibnu Abu Syaibah dalam Al Imaan no. 110).

Cinta nan bertumpu pada Allah akan mengantarkan hidup seseorang pada jalan yang lurus. Sebaliknya, pondasi cinta yang tidak dibangun atas dasar ini maka disanalah tempat keburukan. Allah berfirman,

“Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)” (QS Al-Baqarah : 165)

Mencintai seseorang karena Allah adalah kebahagiaan. Seluruh perilakunya akan membimbing dia mencintai sang kekasih sesuai syariat. Dia tidak akan ridho jika sang kekasih terjatuh dalam hal yang dibenci Allah. Adanya kebencian itu, dia akan memuliakan dan menjaga sang kekasih. Orang yang mencintainya akan berusaha mengarahkan, memberikan nasehat, dan membimbing sang kekasih kepada hal yang diridhai Allah. Tiada kecacatan dalam hal ini. Subhanallah.

Saudaraku yang dirahmati Allah, kebencian yang disyariatkan itu pun tidak akan pernah mengurangi perasaan orang yang mencintai kekasihnya sedikitpun walaupun sang kekasih telah mengecewakan hatinya. Semua terbingkai manis tatkala cinta dibingkai keimanan.

Berkata Yahya bin Mu’adz rahimahullah, “Cinta karena Allah tidak akan bertambah hanya karena orang yang engkau cintai berbuat baik kepadamu dan tidak akan berkurang karena ia berlaku kasar (mengecewakan) kepadamu” (Raudhatul Muhibbin). Subhanallah.

Cukuplah riwayat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan ummul mukminin Aisyah radhiallahu anha memberikan pelajaran kepada kita betapa sucinya perasaan cinta karena Allah azza wa jalla. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Musnad (40/303) no. 24259, berkata Aisyah radhiallahu anha,

“Nabi masuk menemuiku dengan membawa seorang tawanan. Kemudian aku mempermainkan tawanan itu sehingga dia pergi. Kemudian nabi datang lantas berkata, ‘apa yang diperbuat tawanan itu?’ Aisyah menjawab, ‘aku mempermainkannya bersama para wanita yang lain sehingga ia keluar’. Maka nabi berkata, ‘kenapa kamu berbuat demikian? Ada apa denganmu, semoga Allah memotong satu tanganmu atau kedua tanganmu.’ Kemudian nabi keluar dan mengumumkan orang itu kepada manusia sehingga mereka mencari dan mendatanginya. Setelah itu beliau masuk menemuiku sedang aku dalam keadaan membalikkan kedua tanganku, maka beliau berkata, ‘kenapa engkau ini, apakah engkau telah gila?’ aku katakan, ‘anda berdoa kejelekan atasku, maka sayapun membalikkan tangan melihat mana di antara keduanya yang akan dipotong.’”

Saudaraku yang dirahmati Allah, lihatlah betapa banyak faidah dari periwayatan ini. Rasulullah shalallahu alaihi wasalam yang demikian besar cintanya kepada Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu anha, memperingatkan Aisyah dengan kata-kata yang sangat keras. Akan tetapi apa reaksi Aisyah radhiallahu anha? Apakah beliau juga marah mendengar kata-kata Rasulullah shalallahu alaihi wasalam yang demikian kerasnya? Tidak sama sekali saudaraku, kecintaan Aisyah radhiallahu anha kepada Allah dan Rasul-Nya membingkai perilakunya sampai-sampai beliau rela membalikkan tangannya kepada Rasulullah seraya menunjukkan mana yang hendak dipotong.

Dalam riwayat yang sama,

Kemudian nabi memuji Allah, menyanjungnya dan mengangkat tangannya lantas berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa marah sebagaimana manusia marah, maka orang mukmin laki-laki atau perempuan mana saja yang aku doakan kejelekan atasnya, maka jadikanlah hal itu sebagai pembersih dan pensuci baginya.” (Shahih Al Musnad (2/468) no. 1589).

Subhanallah. Takjub ketika kita mendapati dibalik kemarahan Rasulullah menghendaki kebaikan kepada Ummul Mukminin Aisya radhiallahu anhu. Kemarahan beliau muncul karena besarnya rasa cinta kepada Aisyah. Berkata Amru bin Al Ash setelah beliau bertanya kepada Rasulullah, "Siapakah manusia yang paling engkau cintai?" Beliau pun menjawab, "Aisyah" (Muttafaqun Alaihi)

Rasa cinta yang menyelimuti keduanya terbingkai secara syar’i dalam ketaatan kepada Allah azza wa jalla. Tidak ada tanda-tanda kebencian yang muncul pada diri ummul mukminin walaupun Rasulullah shalallahu alaihi wasalam marah dengan kata-kata kasar. Sampai pun ketika sahabat Hisyam bin Amir bertanya kepada Aisyah tentang akhlak Rasulullah maka beliau mengatakan,

“Akhlak beliau adalah al Quran” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 746)

Demikianlah hakikat cinta sejati, yaitu cinta karena Allah ta ala yang merupakan puncak tertinggi dalam kesempurnaan iman yaitu amalan hati yang akan terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala, maka ia akan menjadi ibadah. Dan sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah subhanahu wa ta’ala.

Inilah pandangan orang-orang yang berlomba-lomba mencintai Allah azza wa jala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kesana pulalah hati orang-orang yang mengharapkan naungan teduh pada hari yang tiada naungan kecuali naungan Allah tabaaraka wa ta’ala. Itulah hati orang-orang yang dicintai oleh Allah, yaitu hati manusia yang senantiasa terpaut karena Allah subhanahu wa ta’ala semata.

Disarikan dari Yaumun fii Baitirrasul dan Kasyful Kurabi Lima Hashola Linnabi Minal Ghodhob

bersambung...

Related

Kisah 4750689479071375238

Posting Komentar

emo-but-icon

item