Jalan Cinta yang Ternoda (3)

Taman Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu

Mendefinisikan cinta tentulah sangat sulit, karena perasaan ini tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan diraba dengan kata-kata. Ibnul Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata, “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, berarti cinta itu adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus As Salikin, 3/9).

Pastinya cinta adalah kepergian hati mencari yang dicinta, seraya lisannya terus-menerus menyebut yang dicinta. Cinta sejati adalah cinta karena Allah semata, mengikrarkan hatinya kepada sang kekasih akan tetapi hatinya terpaut kepada Allah sehingga dalam mencintai sang kekasih dia tidak akan melewati batas yang telah ditetapkan Allah azza wa jala. Jika dia harus membenci maka dia membenci perbuatannya, dia berusaha meluruskannya namun rasa cintanya tidak akan berkurang karena kebenciannya.

Berkata Yahya bin Mu’adz rahimahullah, “Cinta karena Allah tidak akan bertambah hanya karena orang yang engkau cintai berbuat baik kepadamu dan tidak akan berkurang karena ia berlaku kasar (mengecewakan) kepadamu” (Raudhatul Muhibbin).

Saudaraku yang dirahmati Allah, cinta selalu menyisakan getir yang bisa dirasakan oleh siapapun. Baik bagi sepasang kekasih itu sendiri ataupun orang yang menyaksikan kisah cinta mereka. Barangkali kita akan benar-benar sadar jika menilik riwayat cinta antara dua insan manusia terdahulu. Pada riwayat mereka terdapat pelajaran berharga bagi kita yang masih hidup di dunia sebagaimana firman-Nya,

“maka Kami jadikan mereka sebagai (kaum) terdahulu, dan pelajaran bagi orang-orang yang kemudian” (QS Az-Zukhruf : 56).

Riwayat-riwayat ini mengajarkan kepada kita bagaimana cara mencintai seseorang, bagaimana kita menjaga adab dan iffah seseorang yang kita cintai, bagaimana kita memuliakan seseorang yang kita cintai. Zadanallah ilman wa hirsha. Berkata Ibnul Qayyim dalam Raudhatul Muhibbin menukilkan kisah cinta seorang pemuda ahli ibadah dari kota Mekkah,

“Kala itu hiduplah seorang pemuda rupawan di kota Mekkah, seorang ahli ibadah. Dia tertarik kepada seorang wanita jelita yang kecantikannya tersohor. Tumbuhlah rasa cinta di antara keduanya. Dan ternyata cinta si pemuda disambut baik oleh wanita tersebut. Hubungan di antara keduanya dapat dirasakan oleh hampir seluruh pelosok kota. Suatu ketika saat keadaan hening, si wanita mengucapkan cinta kepada si pemuda. Sang pemuda pun mengungkapkan hal yang sama. “Aku ingin engkau mencumbuku”, kata si wanita tersebut. Sang pemuda menjawab, ”Aku juga ingin”. “Lalu kenapa engkau tidak melakukannya?”, tanya si wanita. Sang pemuda terkejut dan mengatakan, ”Celaka! Sungguh aku pernah mendengar sebuah firman Allah yang berbunyi, ‘Orang-orang yang saling mencintai (selama di dunia) pada hari itu (hari kiamat) sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.’ Demi Allah, aku tidak mau hubungan kita ini berubah menjadi permusuhan kelak (di hari akhir)”, pemuda itu mengucapkan kata-kata ini sambil bangkit lalu pergi. Sementara si wanita, tak mampu menahan air matanya.” (I’thilal al-Qulub li al-Khar’aithiy, 1/109)

Subhanallah. Lihatlah bagaimana si pemuda tersebut begitu gigihnya mengekang hawa nafsunya. Walaupun keduanya sepakat mengatakan cinta akan tetapi hal itu lantas tidak menghalalkan apa yang diharamkan Allah subhanahu wata ala atas mereka. Si pemuda tersebut memotong fitnah syahwatnya dengan firman Allah,

“Orang-orang yang saling mencintai (selama di dunia) pada hari itu (hari kiamat) sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa” (QS Az Zukhkhruf : 67)

Kota Kufah juga menyimpan banyak cerita tentang cinta. Kali ini kisah cinta yang lebih memilukan diantara kisah yang diriwayatkan Ibnul Qayyim Al Jauziyyah. Berkata Ibnul Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah dalam Raudhatul Muhibbin, Al-Mubarrid menyebutkan dari Abu Kamil dari Ishaq bin Ibrahim dari Raja’ bin Amr An-Nakha’i, ia berkata,

“Adalah di Kufah, pernah hidup seorang pemuda tampan, ahli ibadah dan sangat rajin. Suatu saat dia berkunjung ke kampung Bani An-Nakha’. Pemuda itu kemudian melihat seorang gadis jelita yang membuatnya jatuh cinta. Jiwanya merasakan gelisah oleh cinta. Lalu pemuda itu datang menemui ayahnya untuk menyatakan pinangan. Ternyata, gadis tersebut telah dilamar oleh sepupunya sendiri. Betapa sedihnya hati pemuda tersebut! Pemuda itu benar-benar kecewa.

Si gadis yang mengetahui rasa cintanya lalu memerintahkan seseorang untuk menyampaikan pesan kepada sang pemuda. “Aku sudah mengetahui perasaanmu kepadaku. Ternyata aku pun merasakannya. Sekarang pilihlah, aku yang pergi untuk menemuimu ataukah aku berusaha mencarikan jalan agar engkau bisa menemuiku di rumahku?”, ujar si gadis.

Pemuda itu lalu menjawab, ”Sampaikanlah kepadanya! Tidak ada satu pun yang aku pilih. ‘Sesungguhnya aku merasa takut bila aku berbuat maksiat pada Rabb-ku akan adzab yang akan menimpaku pada hari yang besar.’ Aku takut pada api yang tidak pernah mengecil nyalanya dan tidak pernah padam kobarannya.”

Ketika pesan tadi disampaikan kepada si wanita, dia berkata, ”Dengan besarnya rasa cinta, kamu masih juga takut kepada Allah? Sungguh, hanya dia yang berhak atas diriku”. Sejak hari itu, si gadis sangat menyesal. Kemudian dia meninggalkan urusan dunia dan menyingkirkan perbuatan-perbuatan buruknya serta mulai beribadah mendekatkan diri kepada Allah. Akan tetapi, dia masih menyimpan perasaan cinta dan rindu pada sang pemuda. Tubuhnya mulai kurus dan kurus menahan perasaan rindunya, sampai akhirnya dia meninggal dunia karenanya.

Pemuda itu seringkali berziarah ke makamnya, dia menangis dan mendo’akannya. Suatu waktu dia tertidur di atas kuburannya. Dia bermimpi berjumpa dengan kekasihnya dengan penampilan yang sangat baik. Dalam mimpi dia bertanya, “Bagaimana keadaanmu? Apa yang kau dapatkan setelah meninggal?”

Dia menjawab, “Sebaik-baik cinta -wahai orang yang bertanya- adalah cintamu. Sebuah cinta yang dapat menggiringku menuju kebaikan”.

Pemuda itu bertanya, “Jika demikian, kemanakah kau menuju?”

Dia jawab, “Aku sekarang menuju pada kenikmatan dan kehidupan yang tak berakhir. Di Surga kekekalan yang dapat kumiliki dan tidak akan pernah rusak.”

Pemuda itu berkata, “Aku harap kau selalu ingat padaku di sana, sebab aku di sini juga tidak melupakanmu.”

Dia menjawab, “Demi Allah, aku juga tidak melupakanmu. Dan aku meminta kepada Tuhanku dan Tuhanmu (Allah Ta`ala) agar kita nanti bisa dikumpulkan. Maka, bantulah aku dalam hal ini dengan kesungguhanmu dalam ibadah.”

Si pemuda bertanya, “Kapan aku bisa melihatmu?” Jawab si wanita, “Tak lama lagi kau akan datang melihatku.” Tujuh hari setelah mimpi itu berlalu, si pemuda dipanggil oleh Allah azza wa jala.” (I’thilal al-Qulub li al-Khar’aithiy, 1/111)

Subhanallah. Demikian besarnya rasa cinta sang pemuda pun dia masih takut kepada adzab Allah azza wa jala? Bahkan ketika sang wanita menyuruh si pemuda itu untuk mendatanginya, dia menolaknya dengan menyebut firman Allah subhanahu wata ala,

“Sesungguhnya aku merasa takut bila aku berbuat maksiat pada Rabb-ku akan adzab yang akan menimpaku pada hari yang besar.” (QS Yunus : 15)

Rasa cinta si pemuda ini benar-benar menghidupkan hati sang wanita. Dengannya, munculah kecintaannya kepada Allah subhanahu wata ala, menyibukan diri dengan beribadah kepada Allah dan akhirnya meninggalkan dunia dalam keadaan yang paling baik.

Saudaraku yang dirahmati Allah, inilah sedikit riwayat cinta antara dua insan yang dibingkai dalam keimanan. Dengan hadirnya cinta, sepasang anak manusia ini hidup diatas ketaatan kepada Allah azza wa jala. Baiknya keimanan antara kedua insan mengantarkan mereka sebagai orang-orang yang memiliki derajat yang tinggi. Inilah sebenar-benar cinta yang diridhai oleh Allah subhanahu wata ‘ala. Allah berfirman,

“Dan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (QS Al Baqarah : 165)

“...Tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hati kalian” (QS Al Hujurat : 7)

Hati mereka saling terikat karena Allah subhanahu wata ala. Dan Allah-lah yang menghadirkan cinta diantara mereka. Demikianlah kisah cinta ini diabadikan, cinta yang tumbuh seiring kesempurnaan iman memberikan faidah bagi orang-orang yang hidup setelah mereka. Memberikan pelajaran bagi orang-orang yang mengharapkan naungan teduh pada hari yang tiada naungan kecuali naungan Allah tabaaraka wa ta’ala, yaitu hati manusia yang senantiasa terpaut karena Allah subhanahu wa ta’ala semata.

Jalinan Cinta yang Ternoda (Fenomena Pacaran)

Saudaraku yang dirahmati Allah, ketika adab-adab bergaul antara lawan jenis memudar, cinta meluap dan bergejolak, manusia pun menjadi sulit untuk dikekang -kecuali yang dirahmati Allah-. Walhasil, syaithan berhasil menjerat dua insan manusia dalam ikatan yang disebut “pacaran“. Sejatinya Allah subhanahu wata ala telah mengharamkan berbagai kegiatan yang dapat menghantarkan seseorang ke dalam perzinaan. Sebagaimana firman-Nya,

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesugguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al Isra’ : 32)

Salah satu hal yang paling disayangkan adalah jauhnya bimbingan para pemuda muslim dalam menggapai kecintaan terhadap lawan jenis. Begitu mudahnya dua anak manusia saling mengungkapkan cinta tanpa ikatan yang sah, saling memadu kasih dan meninggalkan adab yang harus dijaga? Maka pintu manakah yang paling lebar mendekati zina selain dengan pacaran?

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah menetapkan untuk anak adam bagiannya dari zina, yang pasti akan mengenainya. Zina mata adalah dengan memandang, zina lisan adalah dengan berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan dan berangan-angan, lalu farji (kemaluan) yang akan membenarkan atau mendustakannya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Kalaulah kita ibaratkan zina adalah sebuah ruangan yang memiliki banyak pintu yang berlapis-lapis, maka orang yang berpacaran adalah orang yang telah memiliki semua kuncinya. Saat berpacaran ia tidak lepas dari zina mata dengan bebas memandang. Saat pacaran ia sering melembut-lembutkan suara di hadapan pacarnya. Saat berpacaran senantiasa memikirkan dan membayangkan keadaan pacarnya. Maka farjinya pun segera mengikutinya.

Saudaraku yang dirahmati Allah, Islam mengatur adab bergaul antara lawan jenis. Islam adalah agama yang sempurna, di dalamnya diatur seluk-beluk kehidupan manusia. Di antara adab bergaul antara lawan jenis sebagaimana yang telah diajarkan :
Menundukkan pandangan terhadap lawan jenis. Allah azza wa jala berfirman,

“Katakanlah kepada laki-laki beriman: Hendahlah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS An Nur : 30).

Tidak berdua-duaan. Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda,

“Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan (khalwat) dengan wanita kecuali bersama mahramnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Tidak menyentuh lawan jenis. Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda,

“Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, (itu) masih lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir 20/210, lihat Ash-Shahihah no. 226)

Berkata Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, "Barangsiapa yang bisa menjaga empat hal, maka berarti dia telah menyelamatkan agamanya. Al Lahazhot (pandangan mata), Al Khothorot (pikiran dan lintasan hati), Al Lafazhot (perkataan/ucapan), Al Khuthuwat, (tindakan nyata untuk sebuah perbuatan).” (Al-Jawaabul Kaafiy)

Dan semestinya, seseorang menjadi penjaga atas dirinya dari empat pintu ini dengan kewaspadaan agar tidak terpedaya, karena dari empat pintu ini musuh menyusup, menyerang dan merasuk kedalam dirinya dan merusak segalanya.

Saudaraku yang dirahmati Allah, pacaran tidak lepas dari tindakan menerjang larangan-larangan Allah. Fitnah ini bermula dari pandang-memandang dengan lawan jenis kemudian timbul rasa cinta (dari mata turun ke hati) kemudian berusaha ingin memilikinya, bagaimanapun caranya dengan berkirim SMS, surat cinta, telepon, atau yang lainnya. Kemudian saling bertemu dan bertatap muka, menyepi, dan saling bersentuhan sambil mengungkapkan rasa cinta dan sayang.

Semua perbuatan ini dilarang karena dalam Islam, perbuatan ini merupakan jembatan dan sarana menuju perbuatan zina. Perhatikanlah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasalam,

“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperolehnya hal itu, tidak bisa tidak. Kedua mata itu berzina, zinanya dengan memandang. Kedua telinga itu berzina, zinanya dengan mendengarkan. Lisan itu berzina, zinanya dengan berbicara. Tangan itu berzina, zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina, zinanya dengan melangkah. Sementara itu, hati berkeinginan dan beranganangan sedangkan kemaluan yang membenarkan itu semua atau mendustakannya.” (HR Muslim no. 2657 dan Al Bukhari no. 6243 dalam Shahih-nya)

Al Imam an Nawawi rahimahullah berkata: “Makna hadits di atas, pada anak Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina secara hakiki dengan memasukkan farji (kemaluan)nya ke dalam farji yang haram. Ada yang zinanya secara majazi (kiasan) dengan memandang wanita yang haram, mendengar perbuatan zina dan perkara yang mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan di mana tangannya meraba wanita yang bukan mahromnya atau menciumnya, atau kakinya melangkah untuk menuju ke tempat berzina, atau melihat zina, atau menyentuh wanita yang bukan mahromnya, atau melakukan pembicaraan yang haram dengan wanita yang bukan mahromnya dan semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya. Semuanya ini termasuk zina secara majazi.” (Syarah Shahih Muslim, 16/156157)

Adakah di antara mereka tatkala berpacaran dapat menjaga empat pintu yang haram? Sedangkan memandang wanita ajnabiyyah (bukan mahram) atau laki-laki ajnabi (bukan mahram) dan menjalin hubungan dengannya termasuk perbuatan yang diharamkan.

Selesai...

Related

Kisah 603497701341204625

Posting Komentar

emo-but-icon

item